Breaking Posts

6/trending/recent

Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

'Mengapa RUU Penyiaran Memicu Kekhawatiran Terhadap Kebebasan Pers?'

 

Oleh: Damai Hari Lubis

Ketua Bid Hukum & HAM DPP

Judul yang seolah-olah menuduh, baik dari kalangan pers maupun masyarakat pemerhati kebebasan pers, muncul karena beberapa pasal dalam draft RUU Penyiaran menunjukkan potensi besar untuk mengancam kebebasan pers.

Contohnya, Pasal 50 B Ayat (2) huruf (c) dalam RUU Penyiaran tertanggal 27 Maret lalu oleh Baleg DPR RI (fungsional Komisi 1) melarang penyiaran konten eksklusif jurnalisme investigasi.

Mengapa artikel tersebut selain menuduh juga mempertanyakan? Karena aturan ini bertentangan dengan UU No. 40/1999 yang telah berjalan selama 25 tahun dan secara efektif mengatur kerja dan etika pers, termasuk jurnalisme investigasi.

Usulan baru ini, yang melibatkan KPI (Komisi Penyiaran Indonesia), diperkirakan akan melahirkan pasal-pasal yang menghambat kebebasan pers.

RUU ini juga mengusulkan bahwa penyelesaian sengketa pers, yang selama ini ditangani oleh Dewan Pers, akan dialihkan kepada KPI sebagaimana diatur dalam Pasal 42.

Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang fungsi dewan etik pers jika tidak memiliki kepastian dalam hal-hal terkait kewartawanan. Apakah ini tidak akan menimbulkan tumpang tindih atau bahkan mengurangi peran sebagian kaum pers?

Bakal Presiden RI ke-9, Prabowo Subianto, harus menunjukkan keprihatinan dan berusaha mencegah ide DPR RI yang ingin mengimplementasikan kebijakan di akhir masa kekuasaan Jokowi, yang terindikasi mengarah pada pengekangan terhadap pers dan insan pers. Hal ini mencerminkan praktik residu Orde Baru yang dapat membahayakan kebebasan pers.

Untuk itu, idealnya Prabowo melakukan pendekatan melalui anggota legislatif dari Partai Gerindra yang ia pimpin, agar aktif menjaga dan mencegah pola kebebasan pers mirip Orde Baru kembali muncul.

Setidaknya, Prabowo harus mencegah keinginan “pihak-pihak pemilik kekuasaan” yang ingin mengebiri bahkan membunuh marwah kebebasan pers dalam era reformasi dan demokrasi saat ini.

Hal ini dapat dilakukan melalui kesepakatan dengan partai-partai besar yang memiliki banyak kursi di DPR RI.

Pendekatan persuasif ini penting agar Prabowo tidak dinilai permisif atau berkeinginan mengembalikan sistem pers ke pola lama, yaitu Orde Baru.

Sebagai bakal calon presiden ke-9 RI dan Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo memiliki pengaruh besar terhadap partai-partai koalisi pendukungnya saat pilpres.

Pengaruh ini harus digunakan untuk mencegah revisi UU Penyiaran yang tidak populer dan mengancam kebebasan pers.

Dengan langkah antisipatif melalui pendekatan politik persuasif, Prabowo dapat menunjukkan komitmennya terhadap kebebasan pers dan demokrasi, serta memastikan bahwa kebijakan yang diusulkan DPR RI tidak melanggar prinsip-prinsip dasar kebebasan pers.

Jika prinsipnya adalah kebutuhan prioritas, maka secara prinsip perlu ada hasil kajian nyata mengenai apa yang hendak direvisi, pengurangan atau tambahan ketentuan yang akan dimasukkan ke dalam sistem hukum UU Penyiaran.

Yang terpenting dalam inisiasi perubahan undang-undang tentang Penyiaran adalah melibatkan para tokoh dan organisasi pers, seperti KWRI, PWI, AJI, dan lainnya.

Keterlibatan ini penting karena penyiaran tidak terlepas dari makna, fungsi, dan tujuan pers yang sangat strategis. Pers dapat dikatakan sebagai pilar keempat demokrasi, selain lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Dalam UU No. 40 Tahun 1999 pasal 3 ayat 1 disebutkan bahwa pers mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.

Sedangkan tujuan dan fungsi penyiaran menurut UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran adalah sebagai kegiatan komunikasi massa, yang berperan sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol, dan perekat sosial.

Dalam menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penyiaran juga mempunyai fungsi ekonomi dan kebudayaan.

Apa prinsip yang membedakan antara tujuan dan fungsi lembaga serta insan pers dengan lembaga penyiaran dan para pelaku penyiaran/jurnalis? Perbedaan ini sering kali melahirkan multi tafsir yang membingungkan para jurnalis pers dan publik umumnya.

Mengapa UU Pers No. 40 Tahun 1999, yang lebih tua umurnya dibandingkan UU No. 32 Tahun 2002, belum memiliki peraturan pelaksanaannya?

Sementara itu, UU Penyiaran yang lebih muda usianya sudah memiliki regulasi pelaksanaannya melalui PP No. 11 Tahun 2005 dan kini bahkan sudah memulai mendraft revisi terhadap UU Penyiaran tersebut.

Aneh sekali bahwa UU tentang Penyiaran selalu diubah-ubah, seolah meniadakan keterkaitan fungsi dengan pers yang diatur dalam UU Pers.

Akibatnya, undang-undang ini tampak serupa tetapi tidak sama. Mengapa tidak digabungkan saja makna dan fungsi pers serta penyiaran agar menyatu, daripada ada tetapi seperti tiada?

Semua karakteristik fungsi dan tujuan antara penyiar dan insan pers sebenarnya sama, karena keduanya merupakan bagian dari jurnalistik atau laporan secara substantif sebagai insan pers.

Oleh karena itu, idealnya wadah para jurnalis (pelaporan, pewarta, atau berita) dijadikan tunggal dan manunggal dalam naungan UU Pers.

Hal ini untuk menghindari ambiguitas dan dualisme yang selama ini ada. Jika ada aspek yang dianggap kurang, maka bisa dimasukkan sebagai revisi pada UU Pers, termasuk bahan-bahan yang bagus dari UU Penyiaran yang bisa menjadi poin penting dalam pasal-pasal UU Pers. Ini demi memenuhi kebutuhan semua warga negara pada umumnya.

Langkah awal untuk menghilangkan ambiguitas ini adalah dengan menggabungkan dewan etik pers dan dewan etik penyiaran.

Kedua dewan etik ini bisa diunifikasi melalui metode manunggal, di mana dewan pers berada sementara di bawah payung komisi penyiaran.

Ini adalah bentuk pengorbanan dari kedua belah pihak sebelum regulasi unifikasi kedua lembaga dan undang-undang terbit dan disahkan.

Secara historis, perlu digarisbawahi bahwa kedua undang-undang ini lahir dari era reformasi. Oleh karena itu, keduanya jangan sampai kembali ke pola orde lama atau orde baru.

Insan pers/jurnalis tentu membutuhkan para tokoh, senior, dan ahli di bidang pers atau kewartawanan/jurnalistik untuk diminta bantuannya.

Mereka bisa duduk semeja dengan para anggota baleg (komisi 1) DPR RI dan para eksekutif (Pemerintah RI/Kemeninfo atau pihak-pihak yang berwenang).

Dengan demikian, semua pihak tidak akan merasa tersinggung, dan semua akan berjalan dengan baik.

Reformasi dan demokrasi harus tetap dipertahankan, dan kepastian, manfaat, serta keadilan harus didapatkan oleh semua insan lintas profesi dan lintas SARA demi pertahanan bangsa dan negara serta kesejahteraan masyarakat. ***

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

Below Post Ad

Ads Bottom

Copyright © 2023 - Repelita.net | All Right Reserved