Breaking Posts

6/trending/recent

Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

Polemik Peralihan Kekuasaan Soekarno ke Soeharto

 

SOEHARTO diangkat jadi mandataris atau penjabat Presiden Republik Indonesia dalam Sidang Istimewa Majelis Permusyawatan Rakyat Sementara (MPRS) pada 12 Maret 1967.

Ia merangkat sebagai Menteri Pertahanan/Keamanan sebelum kemudian resmi dilantik jadi Presiden pada 26 Maret 1968, titik awal dimulainya Orde Baru.

Setelah sah jadi Presiden, Soeharto membangun pemerintahan yang otoriter. Mertua Prabowo Subianto itu berhasil melanggengkan kekuasaan sampai 32 tahun sebelum turunkan oleh rakyat bersama mahasiswa.

Pengangkatan Soeharto jadi Presiden memang penuh kontroversi dan polemik.

Mulanya MPRS mencabut kekuasaan pemerintahan dari tangan Presiden Soekarno dalam Sidang Istimewa pada 7 Maret 1967, serta meninjau kembali ketetapan MPRS Nomor I/MPRS/1960 yang mengatur Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai Garis Besar Haluan Negara.

Soekarno sudah kehilangan kepercayaan saat itu. Bahkan pidato pertanggungjawabannya di tolak MPRS. Terjadilah peralihan kepemimpinan dari Soekarno ke Soeharto.

Melansir dari berbagai sumber, proses penggantian Soekarno oleh Soeharto tidak terlepas dari peristiwa misterius Supersemar alias Surat Perintah 11 Maret 1966.

Surat ini dianggap sebagai kunci yang memungkinkan Soeharto untuk bermanuver dalam dunia politik, terutama di parlemen.

Pada 10 Januari 1967, Soekarno menyampaikan "Nawaksara" sebagai penjelasan terkait Gerakan 30 September 1965 (G30S). Meskipun begitu, MPRS merasa tidak puas dengan penjelasan tersebut.

Sementara Dewan Perwakilan Rakyat-Gotong Royong (DPR-GR) kemudian pada 9 Februari 1967 menyampaikan resolusi bahwa "kepemimpinan Presiden Soekarno secara konstitusional, politis/ideologis membahayakan keselamatan bangsa, negara, dan Pancasila."

Menyusul resolusi tersebut, DPR-GR meminta MPRS untuk menggelar Sidang Istimewa dengan tujuan mencopot jabatan Presiden Soekarno. Sidang ini berlangsung pada tanggal 7-12 Maret 1967.

Hasil dari sidang ini termasuk keputusan untuk mencabut kekuasaan Pemerintahan Negara dari tangan Presiden Soekarno.

Sebelum Sidang Istimewa MPRS, Soeharto telah diberi mandat penyerahan kekuasaan sementara oleh Soekarno pada 22 Februari 1967, sebagai upaya mengatasi situasi keamanan dan ketertiban yang semakin memburuk.

Meski demikian, secara konstitusional, hal tersebut belum memberikan Soeharto hak untuk menjadi pejabat presiden.

Peralihan Kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto dalam Kacamata 'Klenik'

PERALIHAN kekuasaan kepresidenan Republik Indonesia dari Soekarno ke Soeharto tak kan pernah habis jika dibahas. Beberapa dari kita mungkin memiliki pemahaman yang beragam atas peristiwa tersebut.

Beberapa pihak menjadikan tokoh Soekarno sebagai pahlawan yang mengalah dan tersakiti, beberapa pihak lainnya menjadikan tokoh Soeharto sebagai superhero yang mengusir monster jahat dengan apik.

Peralihan kekuasaan ini sudah sering kali dibahas dengan sudut pandang politik bahkan sampai kepentingan global.

Namun, beberapa dari kita lupa bahwa Soekarno dan Soeharto adalah orang Jawa, yang mana peristiwa ini juga bisa dibahas dengan kacamata kelenik.

Pertama, kita mulai dahulu dengan spirit Nyi Roro Kidul yang muncul dari masa Mataram Islam, tepatnya di awal pendirian Mataram itu sendiri.

Pada saat itu, Sutawijaya atau yang biasa dikenal dengan penembahan senapati sedang gundah akan keinginannya untuk menjadi raja yang menguasai Jawa.

Sutawijaya tidak percaya diri karena dia tak memiliki garis keturunan darah biru yang kuat. tetapi, ada satu hal yang dia ingat dan kita perlu ketahui bahwa dalam budaya Jawa, wanita adalah pilar. Maka untuk menjadi raja, seorang pria harus memiliki pilar yang kuat.

Ini yang menjadi latar belakang mengapa Sutawijaya menghidupkan kembali spirit Nyi Roro Kidul yang belakangan sudah digantikan dengan spirit Walisongo pada masa Demak.

Dengan begitu terjadilah pernikahan antara Sutawijaya dengan Nyi Roro Kidul, hal ini membuat spirit tersebut turun temurun ke setiap raja Jawa sampai hari ini.

Hal ini memengaruhi Soekarno yang mana dia juga seorang Jawa untuk memenuhi ambisinya untuk menjadi penguasa Nusantara.

Soekarno menyadari bahwa darah biru yang turun kepadanya tidak terlalu kuat, maka dia harus memiliki pilar yang kuat. Inilah alasan spiritual mengapa Soekarno melakukan poligami.

Bukan hanya sampai di sini, Soekarno juga dipercaya melakukan pernikahan dengan Nyi Roro Kidul, dari situlah Soekarno mendapat hak untuk menjadi penguasa Nusantara yang langgeng.

Spirit Nyi Roro Kidul yang dijalani Soekarno ini rupanya diketahui juga oleh Soeharto sebagai orang Jawa yang berambisi untuk menjadi "Matahari Tandingan”.

Terlepas dari segala isu politik di akhir kekuasaan Soekarno, Soeharto dengan jelas sangat menginginkan kursi kekuasaan yang diduduki Soekarno.

Dengan memiliki seorang istri yang ningrat yaitu Siti Hartinah, Soeharto memiliki keyakinan bahwa dirinya juga pantas menjadi penguasa.

Namun, sekali lagi hal ini tidak cukup, mengingat Soekarno sudah melakukan pernikahan spiritual dengan Nyi Roro Kidul.

Hal ini mendorong Soeharto ingin merebut Nyi Roro Kidul dari Soekarno, sayangnya Nyi Roro Kidul minta tumbal sebanyak satu juta jiwa.

Tumbal inilah yang jika dikaitkan dengan peristiwa nyata adalah genosida oleh rezim penguasa terhadap para tertuduh Partai Komunis Indonesia yang mana dari genosida tersebut sekitar satu juta jiwa tewas.

Pernikahan Soeharto dengan Nyi Roro Kidul pun lancar. Dengan peristiwa tersebut Soekarno jatuh dan menyadari kekuatannya sudah tidak ada, maka dari itu dia menceraikan istri-istrinya.

Namun Soekarno yang menyadari peristiwa ini dari awal meminta agar dia di makamkan di Istana Batu Tulis, Bogor, Jawa Barat dalam wasiatnya.

Namun ketika wafat, hal ini tidak diwujudkan oleh Soeharto karena Soeharto tau jika Soekarno di makamkan di sana, suatu hal buruk akan menimpa kursi kekuasaannya.

Mengapa? Karena Istana Batu Tulis adalah tempat yang didirikan atas reruntuhan Istana Kerajaan Pajajaran, di mana Nyi Roro Kidul merupakan anak dari Prabu Siliwangi.

Dipercaya, Soekarno memilih tempat tersebut untuk peristirahatan terakhirnya karena dia yakin bahwa Istana Batu Tulis merupakan gerbang penghubung untuk menemui Prabu Siliwangi.

Jelas Soeharto sangat takut dengan hal tersebut, dikhawatirkan Soekarno mengadu kepada Prabu Siliwangi agar menghukum putrinya dan menjatuhkan kekuasaan siapa pun yang dinikahi putrinya.

Akhirnya kekuasaan Soeharto berlangsung langgeng hingga puluhan tahun. Namun menjelang akhir masa berkuasanya dia beralih dari seorang Jawa yang beragama Islam menjadi Muslim yang ada di Jawa.

Hal ini ditandai dengan dibentuknya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) sebagai wadah para intelektual muslim.

Soeharto juga berangkat haji dan menambahkan namanya dengan Haji Muhammad Soeharto. Hal ini menyebabkan Nyi Roro Kidul marah.

Bentuk kemarahan ini diperjelas dengan wafatnya Siti Hartinah pada 28 April 1996 yang bertepatan dengan Idul Adha atau Hari Raya Kurban.

Ini menunjukkan kemarahan Nyi Roro Kidul kepada Soeharto atas peralihan ketaatan yang dilakukan Soeharto dengan merenggut nyawa Siti Hartinah di Hari Raya Kurban.

Setelah itu Soeharto perlahan kehilangan kharismanya dan berujung pada kejatuhannya pada tahun 1998. Inilah secuplik kisah peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto yang diwarnai berbagai peristiwa mulai dari Gerakan September Tiga Puluh (Gestok) sampai Genosida 1965.

Adanya sudut pandang kelenik seperti ini bukan menuntut kita untuk mempercayainya, melainkan agar kita bisa lebih luas memandang suatu peristiwa dengan banyak cara pandang. Soal kepastian akan peristiwa tersebut bisa dipercaya, bisa juga tidak.

Sumber Berita / Artikel Asli : okezone

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

Below Post Ad

Ads Bottom

Copyright © 2023 - Repelita.net | All Right Reserved