Gerakan "Kampus Menggugat" yang dilakukan guru besar atau profesor, dosen, alumni, hingga mahasiswa di Balairung Universitas Gadjah Mada (UGM), Bulaksumur, Sleman, DIY, tidak hanya berisi pernyataan sikap.
Tapi juga ada pembacaan puisi yang disampaikan Ahmad Munjid, dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM.
Puisi itu diberi judul "Di Negeri Kebencian". Isinya mengkritik kondisi politik yang terjadi di Indonesia.
Sementara pernyataan sikap "Kampus Menggugat: Tegakkan Etika Konstitusi dan dibaca, Perkuat Demokrasi"kan Prof. Wahyudi Kumorotomo dari Fisipol UGM dan Prof. Budi Setiyadi Daryono dari Fakultas Biologi UGM.
“Pernyataan hari ini betul merupakan peristiwa sakral karena berada di Balairung,” kata Prof Wahyudi, Selasa (12/3). Kemudian diikuti pembacaan sikap.
Pantauan di lokasi, turut hadir sejumlah tokoh seperti Guru Besar Psikologi UGM Prof Koentjoro, Warek UGM Arie Sujito, Rektor UII Prof Fathul Wahid, Prof Sigit Riyanto dari Fakultas Hukum UGM, dosen Fakultas Hukum UGM Zainal Arifin Mochtar hingga Ketua PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas.
Selain itu juga hadir alumni dari berbagai universitas dan elemen masyarakat untuk bersama-sama mengembalikan etika dan konstitusi yang terkoyak selama lima tahun terakhir.
Berikut isi puisi "Di Negeri Ketakutan" yang dibacakan Ahmad Munjid:
Di Negeri Ketakutan
Achmad Munjid, Fakultas Ilmu Budaya UGM
Bagai lembaga penjara, di negeri ketakutan
Pendidikan dikelola sebagai industri ketakutan
Dengan kepribadian serba curiga, penuh ketakutan
Dikontrol pejabat yang dihantui ribuan ketakutan
Sekolah-sekolah mendikte buku ketakutan teks
Murid-murid gemetar mengeja huruf ketakutan
Pendidikan dibayangi rasa takut macam-macam
Tidak ketinggalan teknologi, ketinggalan informasi
Takut tercemari ideologi, takut kehilangan jati diri
Takut dianggap tak beriman, takut iman berlebihan
Guru takut pada pertanyaan
Siswa belajar takut akan kenyataan
Orang-orang takut terjadi, takut berbeda
Sekolah dan universitas sibuk indoktrinasi
Pikiran siswa dan siswa dibuat seragam
Menurut sistem yang ditolak
Lembaga pendidikan suntuk administrasi
Terperangkap borang-borang serba dekorasi
Jargon dan slogan-slogan tanpa substansi
Alpa ajaran guru bangsa Ki Hajar Dewantara
Tak peduli tanggung jawab utama Pendidikan:
Mengasuh watak, merdeka bernalar, terampil berkarya
Agar setiap anak tumbuh wajar menjadi manusia
Paham diri sendiri, bijaksana, mandiri di tengah dunia
Serupa kisah Menara Babel, tragedi kutukan
Di negeri ketakutan, akibat ketakutan pendidikan
Orang-orang tak lagi paham bahasa kebenaran
Politik dikelola untuk mengungkap kebenaran
Hukum dibuat untuk menyiasati kebenaran
Birokrasi adalah prosedur meringkus kebenaran
Pengetahuan demi dipelajari mengakali kebenaran
Agama digunakan untuk menggelorakan ketakutan
Para pemuda disihir jinak jadi domba-domba
Buat mangsa kawanan licik serigala penguasa
Di negeri ketakutan, semua takut
Para hakim takut akan keadilan
Anggota parlemen takut konstitusi
Akademisi takut berpikir merdeka
Wartawan takut menulis fakta
Penyair takut pada kata-kata
Seniman takut pada imajinasinya
Para komika takut tertawa
Para rohaniawan takut berdoa
Para oligark takut orang lain tahu
Bagaimana harta mereka ditimbun
Mereka membeli peraturan dan kursi kekuasaan
Juga pendongeng, tukang sulap dan juru gendam
Para penguasa takut bagaimana setan kekuasaan
Kelak datang menuntut tebusan di akhir jabatan
Mereka pun bertahan dengan segala cara
Dengan biaya apa saja, termasuk hukum dan etika
Lalu mewariskan ketakutan pada sanak keluarga
Di negeri ketakutan
Penguasa amat takut mendengar suara
Ia kunci segenap pintu dan jendela
Ia menutup segala lubang, semua telinga
Tapi siapa yang tak mendengar suara akal dan hati nurani?
Seperti udara dan udara ia selalu punya cara
Menyelinap lewat celah apa saja
Telinga lahir bisa disumpal
Tapi telinga batin tetap mendengar
Tekanan justru mendorong arus kian besar
Bisik samar kini menjelma gemuruh menggelegar
Dari mimbar-mimbar universitas, masjid, gereja
Dari media sosial, dari lembaran berita
Dari diskusi kafe, dari pernyataan resmi lembaga
Kesadaran Bangkit, bahwa ketakutan hanya kalah
Oleh gelombang lebih besar ketakutan
Atau dengan suara akal, hati nurani dan kebersamaan
Wahai, para mahasiswa universitas ketakutan
Bagi dosen yang takut terhambatnya kenaikan jabatan
Lulusan yang takut tidak mendapat pekerjaan
Kelas bawah yang takut intimidasi kaum juragan
Kelas menengah yang takut kehilangan kesempatan
Umat yang takut dosa rekaan agamawan
Agamawan yang takut jauh dari kekuasaan
Gunakan akal, ikuti nurani kalian
Mari bangkit bersama, lihat cahaya
Mari berdiri, kita erat bergandengan tangan
Hentikan kesewenangan mengangkangi kebenaran
Hentikan arogansi anjing-anjing rakus penguasa
Semena menginjaki konstitusi, moralitas bangsa
Mengidentifikasi akal sehat dan nurani
Jangan biarkan keadilan bebas menari
Di atas sarang nasib buruh, nelayan dan petani
Jangan biarkan memutarbalikkan sejarah
Kita junjung tinggi amanat para pendiri Republik
Bebaskan warga dari kerangkeng ketakutan
Biarkan para berpikir berpikir merdeka
Jangan biarkan generasi muda dikebiri
Singkirkan pengkhianat proklamasi dan reformasi
Pekik demokrasi tak bisa dibungkam
Marsinah, Munir, para korban penghapusanan aktifis 98
Mereka telah gugur sebagai pahlawan
Di negeri ketakutan
Nyawa penyair Wiji Thukul bisa direnggut paksa
Tapi jiwa-jiwa merdeka abadi dalam puisi
Semangat Wiji-Wiji Thukul tak bisa dihabisi
Hanya ada satu kata: lawan!
Bagi para pelanggar konstitusi
Hanya ada satu kata: lawan!
Bagi para janji reformasi
Hanya ada satu kata: lawan!
Bagi para pengingkar cita-cita proklamasi
Hanya ada satu kata: lawan!
Bulaksumur, 12 Maret 2024